Saturday, November 2, 2019

Jurnal Intervensi Gangguan Menelan

Jurnal Intervensi Gangguan Menelan


Berikut ini jurnalis-perawat tanmpilkan mengenai intervensi gangguan menelan berdasarkan jurnal penelitian, jurnal ini memberikan latihan teknik berlatih menelan guna menegah aspirasi dan mempercepat kesembuahn pasien dalam menelan


Jurnal Intervensi Gangguan Menelan
Jurnal Intervensi Gangguan Menelan

Penelitian ini menggunakan instrumen berupa lembar observasi yang diadopsi dari instrumen Gugging Swallowing Screen (GUSS) untuk menyeleksi dan menilai risiko aspirasi pada pasien disfagia stroke.


GUSS terdiri dari 2 bagian yaitu:
A) GUSS tahap I yang digunakan untuk menetapkan pasien sudah bisa dilatih atau belum (tahap penilaian awal). Indikator yang ditetapkan untuk pasien yang sudah dapat dilatih antara lain pasien mampu batuk dengan sengaja dan mampu menelan air liurnya sendiri.

Gugging Swallowing Screen (GUSS) tahap 1
Gugging Swallowing Screen (GUSS) tahap 1

B) GUSS tahap II yang digunakan sebagai instrumen penilaian untuk latihan menelan. Pada GUSS tahap II (latihan menelan) responden diobservasi berdasarkan empat kriteria GUSS meliputi menelan lambat (>2 detik), batuk involuntary, air liur menetes, dan adanya suara parau. Skor terendah yang mungkin didapat adalah 0, sedangkan skor tertinggi yang mungkin didapat dari instrumen GUSS tahap II ini adalah 5.

Gugging Swallowing Screen (GUSS) tahap 2
Gugging Swallowing Screen (GUSS) tahap 2

Intervensi terapi menelan pada penelitian ini dilaksanakan 60 menit sebelum diberikan diet dan berlangsung selama 30 menit. Pada penelitian ini terapi menelan pada pasien stroke iskemik dimulai pada hari kelima, sedangkan untuk pasien stroke perdarahan dimulai pada hari ketujuh. Langkah-langkah yang dilakukan dalam terapi menelan dibagi menjadi dua tahap yaitu:

Intervensi Gangguan Menelan

Tahap I: Penilaian awal
Penilaian awal dilakukan untuk menentukan kesiapan pasien dalam menjalani terapi menelan. Penilaian awal berguna untuk menentukan pasien mana yang dapat diberikan terapi menelan dan yang tidak. Tes menelan dimulai dengan meminta pasien untuk menelan air liurnya sendiri. Jika pasien sedang mendapatkan pengobatan ataupun kondisi pasien yang mengakibatkan jumlah air liurnya menurun maka pasien dapat diberikan air minum. Volume air yang diberikan adalah 1 mL. Volume ini sangat mirip dengan volume saliva saat ditelan. Aspek yang dinilai antara lain kewaspadaan, batuk voluntary, bersihan tenggorokan, dan keberhasilan menelan air liur.

Tahap II: Latihan menelan
Setelah lolos dari tahap penilaian awal, maka pasien lanjut dengan tahap II yaitu latihan menelan. Langkah yang dilakukan dalam latihan menelan yaitu sebagai berikut:
  1. mengkondisikan pasien pada lingkungan yang tenang sebelum memulai latihan;
  2. memberikan posisi duduk yang nyaman dan aman pada pasien (pasien dapat diberikan posisi fowler);
  3. membantu pasien melakukan oral hygiene sebelum dan sesudah latihan menelan;
  4. untuk pasien yang mengalami hemiplegi, tindakan yang dilakukan adalah dengan memiringkan kepala pasien pada sisi yang normal kemudian memutar kepala pasien pada sisi tubuh yang mengalami hemiplegi agar pasien dapat mendeteksi makanan yang berada dalam mulutnya serta mencegah posisi kepala pasien mengalami ekstensi;
  5. menempatkan sepotong kecil nutrisi semisolid diujung depan lidah pasien sehingga memudahkan pasien untuk mengunyah dan menelan makanan tersebut;
  6. meminta pasien untuk menghirup nafas, ditahan kemudian memulai proses menelan, segera setelah selesai menelan (sebelum pasien mengambil nafas), pasien diminta untuk batuk kemudian menelan kembali. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga pharyngeal clearance sehingga mampu menurunkan risiko aspirasi; 
  7. mempertahankan posisi pasien tetap Fowler minimal 30 menit setelah terapi selesai dilakukan; 
  8. melakukan evaluasi terhadap latihan menelan yang telah dilakukan.


Strategi  lainnya
kompensasi yang terdapat pada terapi menelan adalah teknik postural dan supraglottic swallow. Teknik postural yang dilakukan, pertama yaitu memberikan posisi duduk dengan posisi Fowler (45 derajat). Melalui posisi tersebut proses menelan pada fase vertikal di orofaringeal dapat dibantu oleh gaya gravitasi sehingga makanan dapat lebih cepat turun ke esofagus dan dapat mengurangi residu makanan yang biasanya ada ketika responden dengan posisi yang lebih horizontal.

Langkah selanjutnya dalam teknik postural yaitu untuk responden yang mengalami hemiplegi tindakan yang dilakukan adalah dengan memiringkan kepala responden pada sisi yang normal kemudian memutar kepala responden pada sisi tubuh yang mengalami hemiplegi. Hal tersebut membuat bolus makanan diarahkan melewati sinus piriformis pada sisi yang kuat yang pada akhirnya dapat menurunkan resistensi spinkter esofagus bagian atas (upper esophageal sphincter) terhadap aliran bolus dan secara bersamaan juga meningkatkan waktu pembukaan spinkter esofagus bagian atas. Hal tersebut mengakibatkan bolus makanan dapat lewat dengan lancar serta meningkatkan bersihan material bolus makanan dari rongga mulut dan faring.

Selain itu, dengan memiringkan kepala pada sisi yang normal membuat pasien dapat mengontrol air liurnya agar tidak menetes keluar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang diberikan teknik postural dapat meningkatkan kemampuan pasien untuk mengatur posisi makanan, menggerakan lidah dan tekanan lidah pada anterior sampai sisi tengah palatum durum pada saat proses menelan yang pada akhirnya hal tersebut secara klinis dapat meningkatkan mekanisme transfer bolus makanan dari rongga mulut ke faring. Selain teknik postural, dalam terapi menelan juga terdapat teknik supraglottic swallow. Teknik supraglottic swallow dilakukan dengan cara meminta responden untuk menghirup nafas satu kali, ditahan kemudian memulai proses menelan, segera setelah selesai menelan (sebelum mengambil nafas), subjek penelitian diminta untuk batuk kemudian menelan kembali. Hal tersebut efektif untuk menjaga bersihan faring (pharyngeal clearance), meningkatkan respon pembukaan spinkter esofagus bagian atas, serta mempercepat penutupan jalan nafas pada pita suara (vocal fold), sehingga tidak terjadi suara parau karena pita suara bersih.

Tindakan menahan nafas selama proses menelan dan batuk segera setelah menelan sangat efektif dalam meminimalkan batuk dan tersedak akibat adanya invasi jalan nafas. Hal tersebut secara signifikan dapat meningkatkan koordinasi nafas dan menelan (breathing-swallowing coordination) sehingga pada akhirnya dapat memberikan perlindungan jalan nafas yang lebih baik.

Disamping itu keefektifan terapi menelan juga dipengaruhi oleh struktur nutrisi yang digunakan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa terdapat penurunan faringeal residu pada responden disfagia stroke yang mengkonsumsi nutrisi semisolid, selain itu nutrisi semisolid juga mampu menurunkan risiko aspirasi secara signifikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan nutrisi semisolid (puding) dapat lebih mudah ditelan oleh pasien.

Hal tersebut terlihat pada saat penelitian dimana responden memiliki waktu menelan yang lebih cepat (sesuai kriteria instrumen GUSS) sehingga mekanisme perpindahan bolus makanan dari rongga mulut ke esofagus berjalan lebih lancar.


Daftar Pustaka :
  • American Heart Association. Guideline for the prevention of stroke in patient with stroke and transient ischemic attack. 2014:1-73.
  • Askim T, Bernhardt J, Salvesen Ø, Indredavik B. Physical activity early after stroke and its association to functional outcome 3 months later. J Stroke Cerebrovasc Dis. 2014;23(5):e305–12. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jstrokecerebrovasdis.2013.12.011
  • Carnaby G, Hankey GJ, Pizzi J. Behavioural intervention for dysphagia in acute stroke: A randomised controlled trial. Lancet Neurol. 2006;5(1):31–7.
  • Daulay NM, Setiawan S, Febriani N. Pengalaman keluarga sebagai caregiver dalam merawat pasien strok di rumah. JKP. 2014;2(3):161–170.
  • Fujiwara S, Ono T, Minagi Y, Fujiu-Kurachi M, Hori K, Maeda Y, et al. Effect of supraglottic and SuperSupraglottic swallows on tongue pressure production against hard palate. Dysphagia. 2014;29(6):655–62.
  • Heart and Stroke Foundation. Management of Dysphagia in Acute Stroke An Educational Manual for the Dysphagia Screening Professional. 2006. Ontario
  • Kelly BN, Huckabee ML, Jones RD, Frampton CMA. Integrating swallowing and respiration: preliminaryresult of the effect of body position. J Med Speech Lang Pathol. 2007;15(4):347-355.
  • Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Jakarta.
  • Ney DM, Weiss JM, Amy JH, Robbins J. Senescent Swallowing: Impact, Strategies, and Interventions.2009;395–413.
  • Power ML, Fraser CH, Hobson A, Singh S, Tyrrell P, Nicholson DA, et al. Evaluating oral stimulation as a treatment for dysphagia after stroke. Dysphagia. 2006;21(1):49–55.
  • Suntrup S, Warnecke T, Kemmling A, Kristina I, Christina T, Oelenberg S, et al. Dysphagia in patients with acute striatocapsular hemorrhage. J Neurol. 2012;93–9.
  • Tamine K, Ono T, Hori K, Kondoh J, Hamanaka S, Maeda Y. Age-related changes in tongue pressure during swallowing. J Dent Res. 2010;89(10):1097–101.

Wheeler-hegland K, Ashford J, Frymark T, Mccabe D, Musson N, Hammond CS, et al. function.2009;46(2):185–94.





Sumber Jurnalis Keperawatan Indonesia


Demikianlah artikel darijurnalis-perawat.blogspot.com diatas. Semoga artikel kami dengan judul yaitu Jurnal Intervensi Gangguan Menelan dapat membatu dan bermanfaat bagi teman-teman semuanya. Terimakasih atas kunjungannya, sampai jumpa lagi ya.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon