Thursday, July 25, 2019

Askep Gangguan Eliminasi Urine

Asuhan Keperawatan (Askep) Gangguan Eliminasi Urine


Asuhan Keperawatan (Askep) Gangguan Eliminasi Urine


A. Definisi
  • Eliminasi urine adalah proses pembuangan sisa-sisa metabolisme. Eliminasi urine normalnya adalah pengeluaran cairan. Proses pengeluaran ini sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ eliminasi seperti ginjal, ureter, bladder, dan uretra (Hidayat, 2008).
  • Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik  berupa urin atau bowel (feses). Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih terisi. Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra.
  • Eliminasi urin normalnya adalah pengeluaran cairan sebagai hasil filtrasi dari plasma darah di glomerolus. Dari 180 liter darah yang masuk ke ginjal untuk di filterisasi, hanya 1-2 liter saja yang dapat berupa urin sebagian besar hasil filterisasi akan di serap kembali di tubulus ginjal untuk di manfaatkan oleh tubuh.

B. Etiologi
  1. Makanan
    Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanan tertentu pada beberapa orang sulit atau tidak  bisa dicerna. Ketidak mampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Makan yang tidak teratur dapat mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu,respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.
  2. Cairan Pemasukan
    Ketika pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran contoh: urine, muntah  yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat di sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan chime di sepanjang intestinal, sehinggameningkatkan reabsorbsi cairan dari chime
  3. Meningkatnya stress psikologi
    Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit- penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi. Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yagn depresi bisamemperlambat motilitas intestinal, yang berdampak pada konstipasi
  4. Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
    Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan gerak  peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectumdalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga fesesmengerase.Obat-obatan beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruhterhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare; yanglain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang merangsang aktivitas usus danmemudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakkan feses,mempermudah defekasi. Obat-obatan tertentu seperti dicyclominehydrochloride (Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang-kadang digunakan untuk mengobati diare
  5. Usia
    Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses, tapi juga pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang dewasa juga mengalami perubahan pengalaman yang dapat mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung. Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada prosesdefekasi
  6. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord dan tumor.
    Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala dapat menurunkanstimulus sensori untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi ketikadia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya,klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami fecal inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi dari spinkter ani


C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Urine
  1. Diet dan asupan (intake)
    Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi output urine. Protein dan natrium dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk. Selain itu minum kopi dapat meningkatkan pembentukan urine.
  2. Respons bagaimana awal berkemih
    Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat menyebabkan urine banyak tertahan di dalam vesika urinaria, sehingga mempengaruhi ukuran vesika urinaria dan jumlah pengeluaran urine.
  3. Gaya hidup
    Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi. Hal ini terkait dengan tersedianya toilet. 
  4. Stress psikologis
    Meningkatnya stress dapat meningkatkan frekuensi keinginan berkemih. Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih dan jumlah urine yang diproduksi.
  5. Tingkat aktivitas.
    Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi sphincter. Kemampuan tonus otot didapatkan dengan beraktivitas. Hilangnya tonus otot vesika urinaria dapat menyebabkan kemampuan pengontrolan berkemih menurun.
  6. Tingkat perkembangan
    Tingkat pertumbuhan dan perkembangan juga dapat mempengaruhi pola berkemih. Hal tersebut dapat ditimbulkan pada anak, yang lebih memiliki kesulitan untuk mengontrol buang air kecil. Namun, kemampuan dalam mengontrol buang air kecil meningkat dengan bertambahnya usia. 
  7. Kondisi penyakit
    Kondisi penyakitt dapat mempeengaruhi produksi urine, seperti diabetes meelitus. 
  8. Sosiokultural
    Budaya dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti adanya kultur masyarakat tertentu yang melarang untuk buang air kecil di tempat tertentu. 
  9. Kebiasaan seseorang
    Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di toilet, biasanya memiliki kesulitan untuk berkemih dengan melalui urineal/pot urine bila dalam keadaan sakit. 
  10. Tonus otot
    Tonus otot yang berperann penting dalam membantu proses berkemih adalah otot kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam kontraksi sebagai pengontrolan pengeluaran urine.
  11. Pembedahan
    Pembedahan berefek menurunkan filtrasi glomerulus sebagai dampak dari pemberian obat anstesi sehingga menyebabkan penurunan jumlah produksi urine. 
  12. Pengobatan
    Pemberian tindakan pengobatan dapat berdampak pada terjadinya peningkatan atau penurunan proses perkemihan. Misalnya pemberian obat diuretic dapat meningkatkan jumlah urine, sedangkan obat antikolinergik dan anti hipertensi dapat menyebabkan retensi uine. 
  13. Pemeriksaan diagnostik
    Pemeeriksaan diagnostik ini juga dapat mempengaruhi kebutuhan eliminasi urine, khususnya prosedur-pprosedur yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan saluran kemih seperti intra venus pyelogram (IVP). Pemeriksaan ini dapat membatasi jumlah asupan sehingga mengurangi produksi urine. Selain itu tindakan sisteskopi dapat menimbulkan edema local pada uretra. 

D. Pathway

Pathway Gangguan Eliminasi Urine
Pathway Gangguan Eliminasi Urine


E. Masalah Eliminasi Urine
  1. Retensi urine
    Retensi urine merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan kandung kemih. Hal ini menyebabkan distensia vesika urinaria atau merupakan keadaan ketika seseorang mengalami pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Dalam keadaan distensi vesika urinaria  dapat menampung urine sebanyak 3.000 – 4.000 ml urine.

    Retensi urine post partum dapat terjadi pada pasien yang mengalami kelahiran normal sebagai akibat dari peregangan atau trauma dari dasar kandung kemih dengan edema trigonum. Faktor-faktor predisposisi lainnya dari retensio urine meliputi epidural anestesia, pada gangguan sementara kontrol saraf kandung kemih , dan trauma traktus genitalis, khususnya pada hematoma yang besar, dan sectio cesaria.

    Retensi postpartum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran pervaginam spontan, disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 % pasien; setelah kelahiran menggunakan forcep, angka ini meningkat menjadi 38 %. Retensi ini biasanya terjadi akibat dari dissinergis antara otot detrusor-sphincter dengan relaksasi uretra yang tidak sempurna yang kemudian menyebabkan nyeri dan edema. Sebaliknya pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya setelah sectio cesaria biasanya akibat dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya otot detrusor.

    Ketika kandung kemih menjadi sangat mennggembung diperlukan kateterisasi, kateter folley ditinggal dalam kanndung kemih selama 24 – 48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dann memungkinkan kandung kemih menemukan kembali tonus normal dan sensasi (Hidayat, 2008).

    Tanda klinis retensi :
    1. Ketidaknyamanan daerah pubis.
    2. Distensi vesika urinaria.
    3. Ketidaksanggupan untuk berkemih.
    4. Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urine (25-50 ml).
    5. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
    6. Meningkatnya keresahan dan keinginan berkemih.
    7. Adanya urine sebanyak 3.000- 4.000 ml dalam kandung kemih.

    Penyebab :
    1. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelvis, vesika urinaria.
    2. Trauma sumsum tulang belakang.
    3. Tekanan uretra yang tinggi karena otot detrusor yang lemah.
    4. Sphincter yang kuat.
    5. Sumbatan (striktur uretra dan pembesaran kelenjar prostat)

  2. Inkontinensia urine
    Inkontinensia urine merupakan ketidakmampuan otot sphincter eksternal sementara atau menetap untuk menetap unttuk mengontrol ekskresi urine. Secara umum penyebab dari inkontinensia urine adalah: proses penuaan (aging process), pembesaran kelenjar prostat, serta penurunan kesadaran, serta penggunaan obat narkotik (Hidayat, 2008).

  3. Enuresis
    Enuresis merupakan menahan kemih (mengompol) yang diakibatkan tidak mampu mengontrol sphincter eksterna. Biasanya enurisis terjadi pada anak atau orang jompo. Umumnya enurisis terjadi pada malam hari (Hidayat, 2008).

    Faktor penyebab enurisis :
    1. Kapasitas vesika urinaria lebih besar dari normal.
    2. Anak-anak yang tidurnya bersuara dari tanda-tanda dari indikasi keinginan berkemih tidak diketahui. Hal itu mengakibatkan terlambatnya bangun tidur untuk untuk ke kamar mandi.
    3. Vesika urinaria peka rangsang, dan seterusnya, tidak dapat menampung urine dalam jumlah besar.
    4. Suasana emosional yang tidak menyenangkan di rumah.
    5. Orang tua yang mempunyai pendapat bahwa anaknya akan mengatasi kebiasaannya tanpa dibantu dengan mendidiknya.
    6. Infeksi saluran kemih, perubahan fisik, atau neurologis sistem perkemihan.
    7. Makanan yang banyak mengandung garam mineral.
    8. Anak yang takut jalan gelap untuk ke kamar mandi.


F. Perubahan pola eliminasi urine
Perubahan pola eliminasi urine merupakan keadaan seseorang yang mengalami gangguan pada eliminasi urine karena obstruksi anatomis, kerusakan motorik, sensorik, dan infeksi saluran kemih (Hidayat, 2008). Perubahan pola eliminasi terdiri atas :
  1. Frekuensi
    Frekuensi merupakan banyaknya jumlah berkemih dalm sehari. Peningkatan frekuensi berkemih dikarenakan meningkatnya jumlah cairan yang masuk. Frekuensi yang tinggi ttanpa suatu tekanan asupan cairan dapat disebabkan sistisis. Frekuensi tinggi dapat ditemukan juga pada keadaan stress/hamil. 
  2. Urgensi
    Urgensi adalah perasaan seseorang yang takut mengalami inkontinensia jika tidak berkemih. Pada umumnya anak kecil memiliki kemampuan yang buruk dalm mengontrol sphincter eksternal. Biasanya perasaan ingin segera berkemih terjadi pada anak karena kurangnya kemampuan pengontrolan pada sphincter. 
  3. Disuria
    Disuria adalah rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih. Hal ini sering ditemukan pada penyakit infeksi saluran kemih, trauma, dan striktur uretra. 
  4. Poliuria
    Poliuria merupakan produksi urine abnormal dalam jumlah besar oleh ginjal, tanpa adanya peningkatan asupan cairan. Biasanya, ditemukan pada penyakit diabetes dan GGK. 
  5. Urinari Supresi
    Urinaria supresi adalah berhentinya produksi urie secara mendadak. Secara normal, urine diproduksi oleh ginjal pada kecepatan 60 – 120 ml/jam secara terus menerus. 

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN ELIMINASI URINE


A. Pengkajian
  1. Riwayat Keperawatan
    1. Pola berkemih
    2. Gejala dari perubahan berkemih
    3. Faktor yang memengaruhi berkemih
  2. Pemeriksaan fisik
    1. Abdomen
      Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena, distensi bladder, pembesaran ginjal, nyeri tekan, tenderness, bising usus. 
    2. Genetalia wanita
      Inflamasi, nodul, lesi, adanya sekret dari meatus, keadaan atropi jaringan vagina. 
    3. Genetalia laki-laki
      Kebersihan, adanya lesi, tenderness, adanya pembesaran skrotum
  3. Intake dan output cairan
    1. Kaji intake dan ouput cairan dalam sehari (24 jam) 
    2. Kebiasaan minum dirumah 
    3. Intake : cairan infus, oral, makanan, NGT 
    4. Kaji perubahan volume urine untuk mengetahui ketidakseimbangan cairan.
    5. Output urine dari urinal, cateter bag, drainage ureterostomy, sistostomi. 
    6. Karakteristik urine : warna, kejernihan, bau, kepekatan. 
  4. Pemeriksaan diagnostik
    1. Pemeriksaan urine (urinalisis) 
    2. Warna : (N : jernih) 
    3. Penampilan : (N : jernih) 
    4. Bau (N : beraroma) 
    5. pH : (N : 4,5-8,0)
    6. Berat jenis  (N : 1,005 – 1,030) 
    7. Glukosa  (N : negatif) 
    8. Keton  (N : negatif)
    9. Kultur urine (N: kuman patogen negatif)

B. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

1. Gangguan pola eliminasi urine : inkontinensia 
  • Definisi : kondisi di mana seseorang tidak mampu mengendalikan pengeluaran urine. 
Kemungkinan berhubungan dengan : 
  1. Gangguan neuromuskuler 
  2. Spasme bladder 
  3. Trauma pelvic
  4. Infeksi saluran kemih 
  5. Trauma medulla spinalis 
  6. Kemungkinan data yang ditemukan : 
  7. Inkontinensia 
  8. Keinginan berkemih yang segera 
  9. Sering ke toilet 
  10. Menghindari minum 
  11. Spasme bladder 
  12. Setiap berkemih kurang gizi dari 100 ml atau lebih dari 550 ml. 
Tujuan yang diharapkan : 
  1. Klien dapat mengontrol pengeluaran urine setiap 4 jam. 
  2. Tidak ada tanda-tanda retensi dan inkontinensia urine. 
  3. Klien berkemih dalam keadaan rileks 
Intervensi

Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)

  • Monitor keadaan bladder setiap 2 jam

  • R: membantu mencegah distensi atau komplikasi

  • Tingkatkan aktivitas dengan kolaborasi dokter/fisioterapi

  • R: meningkatkan kekuatan otot ginjal dan fungsi bladder.

  • Kolaborasi dalam bladder training

  • R: menguatkan otot dasar pelvis

  • Hindari faktor pencetus inkontinensia urine seperti cemas

  • R: mengurangi / menghindari inkontinensia

  • Kolaborasi dengan dokter dalam pengobatan dan kateterisasi

  • R: mengatasi faktor penyebab

  • Jelaskan tentang : pengobatan,    kateter, penyebab, tindakan lainnya

  • R: meningkatkan pengetahuan dan diharapkan pasien lebih kooperatif.


2. Retensi urine
  • Definisi : kondisi di mana seseorang tidak mampu mengosongkan bladder secara tuntas.. 
Kemungkinan berhubungan dengan : 
  1. Obstruksi mekanik 
  2. Pembesaran prostat 
  3. Trauma 
  4. Pembedahan 
  5. Kehamilan 
  6. Kemungkinan data yang ditemukan : 
  7. Tidak tuntasnya pengeluaran urine 
  8. Distensi bladder 
  9. Hipertropi prostat 
  10. Kanker 
  11. Infeksi saluran kemih 
  12. Pembedahan besar abdomen 
Tujuan yang diharapkan : 
  • Pasien dapat mengontrol pengeluaran bladder setiap 4 jam 
  • Tanda dan gejala retensi urine tidak ada 

Intervensi

Intervensi Rasional
  • Monitor keadaan bladder setiap 2 jam 
  • R: Menentukan masalah
  • Ukur intake dan output cairan setiap 4 jam
  • R: memonitor keseimbangan cairan
  • Berikan cairan 2.000 ml/hari dengan kolaborasi
  • R: menjaga defisit cairan
  • Kurangi minum setelah jam 6 malam
  • R: mencegah  nokturia
  • Kaji dan monitor analisis urine elektrolit dan berat badan
  • R: membantu memonitor keseimbangan cairan
  • Lakukan latihan pergerakan
  • R: meningkatkan fungsi ginjal dan bladder
  • Lakukan relaksasi ketika duduk berkemih
  • R: relaksasi pikiran dapat meningkatkan kemampuan berkemih.
  • Ajarkan teknik latihan dengan kolaborasi dokter/fisioterapi
  • R: menguatkan otot pelvis
  • Kolaborasi dalam pemasangan kateter
  • R: mengeluarkan urine

Daftar Pustaka :
  • Hidayat, A.Aziz, dkk. 2008. Ketrampilan Dasar Praktek Klinik Untuk Kebidanan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
  • Nanda International. 2009. Diagnosis Keperawatan: Defenisi dan klasifikasi. Jakarta: EGC
  • Potter, P.A dan Perry. A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC
  • Tarwoto & Wartonah. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses Keperawatan. Edisi 4. Salemba Medika : Jakarta

Demikianlaha rtikel dari kami diatas yang membahas mengenai Aasuhan Keperawatan Gangguan Eliminasi Urine beserta konsep asuhan keperawatannya. Semoga artikel kami diatas dapat bermanfaat dan berguna bagi teman-teman semuanya. Terimakasih yaa atas kunjungannya.

Artikel Terkait

1 comments so far

kak maaf mau tanya untuk daftar pustaka kan kaka mengambil dari 4 sumber, kalau untuk pembuatan pathway itu kakak menggunakan sumber yg mana ya? atau mengkombinasikan 4 sumber dalam satu pathway? terima kasih


EmoticonEmoticon